15fUkKsZVT9yDgBv50vtln5Ad8Y63wPOAJoCaduz
Bookmark

# Filosofi Kungfu :#


( Indonesia )

Waktu menginjak remaja saya belajar Kungfu. Usia saya sekitar 15 tahunan ketika itu. Tidak hanya saya yang belajar. Ada 3 atau 4 kawan lain yang juga ikut belajar. Yang mengajari saya masih sepupu saya dari fihak bapak. Namanya Mang Encung. Kami masih satu desa.

Kungfu yang Mang Encung ajarkan adalah Kungfu dari Cina Selatan.
Menurut cerita Mang Encung, konon tanah daerah selatan licin, gembur dan berlumpur. Tanah seperti itu membuat orang sulit untuk melakukan tendangan tinggi dan lompatan salto seperti di utara.

Para pendekar di selatan pun mengembangkan teknik-teknik pukulan yang sangat mengandalkan kekuatan dan kepadatan tangan. Mereka ada yang berlatih dengan cara membenturkan tangan pada patung kayu (mok yan jong atau wooden dummy) atau benda-benda keras lainnya.

Tendangan pada kung fu selatan sebagian besar diarahkan ke bagian bawah tubuh lawan seperti kaki, lutut, paha atau pinggang. Jumlah persentase jurus-jurus tendangan juga lebih sedikit daripada pukulan.

Keadaan politik di Selatan juga mempengaruhi bentuk seni beladari yang dikembangkan para pendekar di sana. Banyak para pendekar yang mengembangkan seni beladiri di Selatan adalah para patriotik yang berperang melawan pasukan dinasti Ching. Para kaisar dari dinasti tersebut memang sudah lama memusuhi para pendekar kungfu.

Penguasa-penguasa itu takut para pendekar tersebut akan mengalahkan mereka dan merebut kekuasaan. Sehingga, seni beladiri harus dibuat sepraktis mungkin dengan tetap mempertahankan efektifitasnya agar mudah dan cepat dikuasai. Demikian Mang Encung mengakhiri ceritanya.

Kalau latihan tempatnya di tanah lapang dekat rumah Mang Encung. Tempatnya setiap latihan sengaja dibiarkan gelap. Tidak dinyalakan lampu penerangnya. Padahal ada lampu penerang. Sengaja dimatikan. Biar orang yang lewat tidak begitu jelas melihat kami yang sedang berlatih. Juga, kata Mang Encung, itu buat melatih mata kita. Supaya terbiasa di tempat gelap ketika melakukan gerakan-gerakan. Nanti akan terbiasa katanya.

Bahkan konon katanya kalau tingkatan Kungfunya sudah tinggi , tanpa melihat pun kita bisa bertarung dengan musuh kita. Hanya dengan mengandalkan indera pendengaran. Seperti yang sering kita lihat di film-film China Kolosal. Sang pendekar dengan ditutup matanya bisa mengalahkan musuh yang mengepungnya. Hanya dengan mengandalkan pendengaran.

Saya berlatih Kungfu seminggu dua kali. Tiap malam Senin dan Rabu. Waktunya selepas Isya sampai jam sembilan malam. Saya bersama beberapa kawan mengawali sesi latihan dengan pemanasan berupa lari-lari kecil. Dan beberapa gerakan peregangan lainnya. Biar otot tidak kaget, kata Mang Encung.

Setelah itu kami diajarkan jurus-jurus baru. Jurus adalah rangkaian dari beberapa gerakan yang berkesinambungan dan merupakan satu kesatuan. Teknik melatih dan menghafal jurusnya adalah pertama Mang Encung mempraktekkan dulu jurusnya sampai selesai. Dengan perlahan.

Yang saya aneh : Mang Encung tipe orang yang gemuk. Perutnya buncit. Tapi ketika mempraktekkan jurus itu dia terlihat tegap, mantap, penuh tenaga dan yang pasti terlihat lebih gagah. Seperti pendekar-pendekar silat dalam film-film mandarin. Atau kalau saya perhatikan, Mang Encung mirip Samo Hung. Aktor film silat mandarin.

Dua sampai tiga kali dia praktekkan jurus baru itu. Kemudian dia menyuruh saya beserta kawan saya untuk mengikuti apa yang dia praktekkan tadi. Kadang di tengah gerakan, beberapa dari kami ada yang lupa. Kemudian Mang Encung mempraktekkan lagi.

"Seperti ini,' kata dia membetulkan beberapa gerakan dari kami yang salah. Demikian terus seperti itu. Sampai dirasa oleh dia bahwa gerakan kami hampir menyerupai seperti gerakan yang dia ajarkan.

Dan itu diulang bukan hanya empat atau lima kali. Itu diulang sampai puluhan kali. Kalau dirasa sudah cukup hafal, Mang Encung menambahkan jurus baru yang merupakan pasangan dari jurus yang dilatih tadi. Yang pertama dilatih disebut jurus inti. Dan yang belakangan disebut jurus sambut. Jurus sambut adalah lawan dari jurus inti. Sama seperti melatih jurus inti, jurus sambut pun dipraktekkan berulang-ulang sampai puluhan kali.

Setelah kedua-duanya dirasa sudah cukup hapal, kemudian saya disuruh berhadapan dengan seorang kawan. Demikian juga dengan kawan yang lain. Kami saling berhadap-hadapan. Nah, saya kebagian mempraktekkan jurus inti, sedangkan kawan di hadapan saya kebagian mempraktekkan jurus sambut. Dan ketika itu dipraktekkan kami terlihat seperti orang yang bertarung. Tapi dengan gerakan yang sudah ditentukan yaitu berupa jurus inti dan jurus sambut tadi.

Setelah agak lancar, saya tukar posisi dengan kawan di hadapan saya. Saya yang mempraktekkan jurus sambut, sedang kawan di hadapan saya mempraktekkan jurus inti. Dan seperti biasa, itu dilakukan berulang-ulang.

"Kalau dilatih terus, refleks akan muncul dengan sendirinya. Kita ini sedang melatih refleks dengan jurus-jurus tadi," demikian kata Mang Encung menjelaskan.

Dan memang seperti itu kenyataan yang saya rasakan setelah latihan. Jadi setiap ada serangan dari seorang kawan; baik itu pukulan maupun tendangan, saya pasti dengan refleks akan menangkis serangan itu. Dan itu tidak berhenti disitu. Ada gerakan susulan. Setelah menangkis saya akan lanjutkan dengan menyerang kawan saya. Dan kawan saya pun dengan refleks juga akan menangkis serangan saya itu. Juga dilanjutkan dengan menyerang saya. Demikian seterusnya.

Memang untuk pertama-tama kulit terasa sakit dan tulang terasa linu. Karena sering terkena tamparan, pukulan atau tendangan. Tetapi seiring waktu lama kelamaan hal itu menjadi seperti tak terasa sakit lagi.

Begitu juga dengan gerakan-gerakan dari jurus yang dilatih, lama kelamaan semakin bertenaga dan semakin cepat. Dan itu semua didapat tidak secara langsung. Ada prosesnya. Latihan, latihan, dan terus latihan.

Mempelajari dan berlatih kung fu yang berasal dari Selatan awalnya mungkin bukan pengalaman yang menyenangkan. Saya harus terus menerus mengulang pukulan-pukulan yang sama setiap kali berlatih. Berlatih pukulan dengan kuda-kuda ma bu yang rendah dan membuat kaki terasa pegal mungkin membosankan bagi sebagian orang. Namun, karena saya ingin menguasai kungfu, maka saya jalani itu semua dengan penuh ketekunan, kedisiplinan dan kegigihan.

Ya, Kungfu bagi saya bukan hanya sebuah ilmu beladiri. Bukan hanya sekedar sebuah rangkaian gerakan . Lebih dari itu. Kungfu sudah menjadi filosofi hidup saya. Saya banyak belajar tentang filosofi kehidupan dari Kungfu.


( English ) 

When I was a teenager I learned Kungfu. I was around 15 years old at that time. I'm not the only one studying. There were 3 or 4 other friends who also studied. The one who taught me was still my cousin from my father's side. His name is Mang Encung. We are still a village.

The Kung Fu that Mang Encung teaches is Kungfu from Southern China.

According to the story of Mang Encung, it is said that the southern land is slippery, loose and muddy. Such land makes it difficult for people to make high kicks and somersault jumps like in the north.

The warriors in the south also developed punch techniques that rely heavily on strength and density of the hand. Some of them practice by banging hands on wooden statues (mok yan jong or wooden dummy) or other hard objects.

The kicks on southern kung fu are mostly directed at the opponent's lower body such as legs, knees, thighs or waist. The percentage of kick moves is also less than the punch.

The political situation in the South also influenced the form of martial arts developed by warriors there. Many of the warriors who developed martial arts in the South were patriotics who fought against the Ching dynasty troops. The emperors of the dynasty had long been hostile to martial arts warriors.

The rulers were afraid that the warriors would defeat them and seize power. Thus, martial arts must be made as practical as possible while maintaining its effectiveness so that it is easy and quickly mastered. Thus Mang Encung ended the story.

If you practice, it will be in a field near Mang Encung's house. The place where every practice is deliberately left dark. Not turned on the lights. Even though there are lights. Deliberately turned off. Let people who pass by not very clearly see us who are practicing. Also, said Mang Encung, it is for training our eyes. In order to get used to in the dark when doing movements. Later he will get used to it.

It is even said that if the level of Kungfu is already high, without even seeing we can fight with our enemies. Only by relying on the sense of hearing. As we often see in colossal Chinese films. The warrior with his eyes closed can defeat the enemy that surrounds him. Only by relying on hearing.

I practice Kungfu twice a week. Every night Monday and Wednesday. The time after Isya until nine at night. I along with some friends started the training session with a warm-up jogging. And some other stretching movements. So that the muscles are not shocked, said Mang Encung.

After that we were taught new moves. Kick is a series of several movements that are continuous and are one unit. The technique of training and memorizing the stance is the first Mang Encung first practice the technique to completion. Slowly.

What I'm weird: Mang Encung is a fat person. His stomach is distended. But when practicing that style he looks stout, steady, full of energy and certainly looks more manly. Like the martial arts warriors in mandarin films. Or if I pay attention, Mang Encung looks like Samo Hung. The mandarin silat film actor.

Two to three times he practiced the new style. Then he told me and my friend to follow what he practiced earlier. Sometimes in the middle of the movement, some of us forget. Then Mang Encung practices again.

"Like this," he said, correcting some of our movements which were wrong. It continued like that. Until he felt that our movements were almost like the movements he taught.

And it was repeated not just four or five times. It was repeated dozens of times. If it is felt that you have memorized enough, Mang Encung added a new style which is a pair of forms that were trained earlier. The first one is called the core skill. And the latter is called a welcome style. The welcome style is the opposite of the core style. Just like training the core style, the welcoming style is practiced repeatedly for dozens of times.

After both of them felt that I had memorized enough, then I was told to deal with a friend. Likewise with other friends. We are facing each other. Well, I got to practice the core moves, while the friend in front of me got to practice the welcome moves. And when it is practiced we look like people who fight. But with a predetermined movement in the form of the core and welcoming forms earlier.

After a bit smooth, I switch positions with friends in front of me. I practice the welcome style, while the friend before me practices the core style. And as usual, it is done repeatedly.

"If you continue to practice, reflexes will appear on their own. We are practicing reflexes with those moves," Mang Encung explained.

And indeed it was like the reality that I felt after the practice. So seti