(Indonesia )
ABSTRAK
Ilmu beladiri dikenal sejak adanya peradaban manusia, yang pada waktu
itu dipergunakan hanya untuk mempertahankan diri dari gangguan binatang
buas dan alam sekitarnya. Sekarang, di samping untuk mempertahankan diri,
beladiri digunakan sebagai alat untuk menjaga kesehatan, mencari prestasi dan
sebagai jalan hidup. Karate-do adalah suatu seni perkasa, beladiri tanpa senjata
Ilmu beladiri dikenal sejak adanya peradaban manusia, yang pada waktu
itu dipergunakan hanya untuk mempertahankan diri dari gangguan binatang
buas dan alam sekitarnya. Sekarang, di samping untuk mempertahankan diri,
beladiri digunakan sebagai alat untuk menjaga kesehatan, mencari prestasi dan
sebagai jalan hidup. Karate-do adalah suatu seni perkasa, beladiri tanpa senjata
yang bertujuan untuk mengatasi segala bentuk rintangan, yang dicapai dengan
cara mengembangkan kepribadian melalui
latihan-latihan tertentu. Dari sejarah
asal mula lahirnya seni beladiri ini dapat dibayangkan betapa keras dan melalui
rintangan yang berat untuk dapat mencapai tingkat kesempurnaan atau
keberhasilan. Sebagai alat komunikasi dan tempat berinteraksi dengan orang
lain, seni beladiri karate mempunyai etika dan
asal mula lahirnya seni beladiri ini dapat dibayangkan betapa keras dan melalui
rintangan yang berat untuk dapat mencapai tingkat kesempurnaan atau
keberhasilan. Sebagai alat komunikasi dan tempat berinteraksi dengan orang
lain, seni beladiri karate mempunyai etika dan
sopan santun yang harus ditaati
dan dilaksanakan oleh segenap anggota/orang yang ada di dalamnya. Aturan
dan dilaksanakan oleh segenap anggota/orang yang ada di dalamnya. Aturan
main, etika dan sopan santun yang terdapat dalam seni beladiri ini dibuat
berdasarkan semangat dan filosofi yang diwariskan oleh orang-orang yang
melahirkanya. Karate-ka sejati selalu berusaha untuk dapat memahami dan
meresapi setiap ajaran yang ada kemudian
melahirkanya. Karate-ka sejati selalu berusaha untuk dapat memahami dan
meresapi setiap ajaran yang ada kemudian
memasukanya dalam kehidupan
sehari-hari sebagai jalan hidupnya.
Kata kunci : Sejarah, Etika, Filosofi Karate
SEJARAH PERKEMBANGAN KARATE
Ilmu beladiri sebenarnya sudah dikenal sejak manusia ada, hal itu dapat
sehari-hari sebagai jalan hidupnya.
Kata kunci : Sejarah, Etika, Filosofi Karate
SEJARAH PERKEMBANGAN KARATE
Ilmu beladiri sebenarnya sudah dikenal sejak manusia ada, hal itu dapat
dilihat dari peninggalan-peninggalan purbakala, diantaranya : senjata-senjata
dari batu, lukisan-lukisan pada dinding goa yang menggambarkan pertempuran
atau perkelahian dengan binatang buas menggunakan senjata seperti tombak,
kapak batu, dan panah. Pada saat itu, beladiri bersifat untuk mempertahankan
diri dari gangguan binatang buas atau alam sekitarnya. Setelah manusia
dari batu, lukisan-lukisan pada dinding goa yang menggambarkan pertempuran
atau perkelahian dengan binatang buas menggunakan senjata seperti tombak,
kapak batu, dan panah. Pada saat itu, beladiri bersifat untuk mempertahankan
diri dari gangguan binatang buas atau alam sekitarnya. Setelah manusia
berkembang, gangguanpun timbul tidak hanya dari binatang buas dan alam
sekitarnya tapi juga dari manusia itu sendiri.
sekitarnya tapi juga dari manusia itu sendiri.
Setelah Sidartha Gautama, pendiri Budha wafat, para pengikutnya
mendapat amanat untuk mengembangkan ajaran Budha ke seluruh dunia.
Karena sulitnya medan yang dilalui, para pendeta dibekali ilmu beladiri. Sekitar
abad ke-5, seorang pendeta Budha dari India yang bernama Bodhidharma
(Daruma Daishi), mengembara ke China untuk menyebarkan dan membetulkan
ajaran Budha yang sudah menyimpang saat itu. Setelah ada selisih paham atau
perbedaan pandangan dalam ajaran Budha dengan Kaisar Wu, Kaisar Kerajaan
Liang waktu itu, Daruma Daishi kemudian mengasingkan diri di Biara Shaolin
Tsu, di Pegunungan Sung, bagian selatan Loyang, Ibukota Kerajaan Wei.
Daruma Daishi melanjutkan pengajaran Agama Budhanya di biara itu, yang
kemudian merupakan cikal bakal ajaran Zen. Di
mendapat amanat untuk mengembangkan ajaran Budha ke seluruh dunia.
Karena sulitnya medan yang dilalui, para pendeta dibekali ilmu beladiri. Sekitar
abad ke-5, seorang pendeta Budha dari India yang bernama Bodhidharma
(Daruma Daishi), mengembara ke China untuk menyebarkan dan membetulkan
ajaran Budha yang sudah menyimpang saat itu. Setelah ada selisih paham atau
perbedaan pandangan dalam ajaran Budha dengan Kaisar Wu, Kaisar Kerajaan
Liang waktu itu, Daruma Daishi kemudian mengasingkan diri di Biara Shaolin
Tsu, di Pegunungan Sung, bagian selatan Loyang, Ibukota Kerajaan Wei.
Daruma Daishi melanjutkan pengajaran Agama Budhanya di biara itu, yang
kemudian merupakan cikal bakal ajaran Zen. Di
samping mengajarkan agama,
beliau juga memberikan Buku Petunjuk mengenai Latihan Fisik kepada murid-
beliau juga memberikan Buku Petunjuk mengenai Latihan Fisik kepada murid-
muridnya. Buku Petunjuk itu juga mengajarkan teknik-teknik pukulan, yang
bernama 18 Arhat. Berawal dari situ biara tersebut terkenal sebagai Shaolin
Chuan, pusat beladiri di daratan China hingga sekarang.
Pada jaman Dinasti Sung (920-1279 M) muncul seorang ahli beladiri yang
sangat terkenal, yaitu Chang Sang Feng (Thio Sam Hong)
Chuan, pusat beladiri di daratan China hingga sekarang.
Pada jaman Dinasti Sung (920-1279 M) muncul seorang ahli beladiri yang
sangat terkenal, yaitu Chang Sang Feng (Thio Sam Hong)
yang pada awalnya
belajar beladiri di Shaolin Tsu, kemudian mengasingkan diri di Gunung Wutang
(Butong) dan menciptakan gaya perkelahian yang
belajar beladiri di Shaolin Tsu, kemudian mengasingkan diri di Gunung Wutang
(Butong) dan menciptakan gaya perkelahian yang
khas dengan pribadinya, yang
diberi nama Aliran Wutang. Perbedaannya, Shaolin Chuan hanya dipraktekan
dalam biara shaolin oleh para pendetanya, sedangkan Aliran Wutang
diperuntukkan kepada orang awam yang tidak ada ikatan dengan kuil manapun.
Aliran Wutang mengajarkan teknik menerima
diberi nama Aliran Wutang. Perbedaannya, Shaolin Chuan hanya dipraktekan
dalam biara shaolin oleh para pendetanya, sedangkan Aliran Wutang
diperuntukkan kepada orang awam yang tidak ada ikatan dengan kuil manapun.
Aliran Wutang mengajarkan teknik menerima
pukulan dengan gaya lemah
gemulai, ada gerak melingkar yang luwes seperti air mengalir dan menyerang
dengan gerakan ujung yang tajam, dengan satu
gemulai, ada gerak melingkar yang luwes seperti air mengalir dan menyerang
dengan gerakan ujung yang tajam, dengan satu
kepastian atau satu kali pukul
untuk mengakhiri perlawanan. Aliran ini mempunyai dampak yang luas dalam
perkembangan beladiri di China, tersebar merata di seluruh China bagian utara,
kemudian berkembang menjadi Taichi-Chuan, Hsingi-Chuan, dan Pakua-Chuan.
untuk mengakhiri perlawanan. Aliran ini mempunyai dampak yang luas dalam
perkembangan beladiri di China, tersebar merata di seluruh China bagian utara,
kemudian berkembang menjadi Taichi-Chuan, Hsingi-Chuan, dan Pakua-Chuan.
Banyak tokoh seni beladiri muncul di seluruh wilayah China dan
menciptakan gaya serta alirannya masing-masing, gaya dan aliran tersebut
dikembangkan menurut sifat dan kondisi lingkungan masing-masing. Bermacam
gaya dan aliran yang ada pada umumnya dapat
dikembangkan menurut sifat dan kondisi lingkungan masing-masing. Bermacam
gaya dan aliran yang ada pada umumnya dapat
dibagi menjadi dua aliran pada
umumnya, yaitu Aliran Utara dan Selatan. Aliran Utara berkembang di wilayah
China Utara bagian hulu Sungai Yang Tse, dengan sifat dan kondisi daerah
pegunungan. Wilayah ini banyak orang yang terlibat perburuan binatang dan
penebangan kayu sebagai sumber nafkah, oleh karena itu aliran ini lebih
menekankan pada gerakan yang lincah dan penggunaan teknik tendangan.
Aliran Selatan berasal dari daerah China Selatan bagian hilir Sungai Yang Tse,
beriklim sedang, banyak aliran sungai, dan masyarakat banyak yang mempunyai
kegiatan perekonomian bercocok tanam, atau sebagai petani. Rakyat setempat
cenderung bertubuh gempal, kuat dan lebih berkembang pada badan bagian
atas karena bekerja di sawah dan mendayung perahu, hal ini dikarenakan
banyaknya aliran sungai sebagai jalur transportasi utama. Aliran ini lebih
menekankan pada gaya melentur dan penggunaan teknik tangan serta kepala.
Selama peralihan dari Dinasti Ming ke Dinasti Ching, sejumlah ahli
beladiri China melarikan diri ke negara lain agar terbebas dari penindasan dan
pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Manchu sebagai
penguasa China saat itu. Akibatnya, ilmu beladiri tersebar ke berbagai negara
lain seperti Jepang, Korea, Asia Tenggara, dan juga Kepulauan Okinawa.
Sampai abad ke-15 Kepulauan Okinawa masih terbagi menjadi 3 kerajaan dan
pada tahun 1470 Youshi Sho dari golongan Sashikianji berhasil mempersatukan
semua pulau di Kepulauan Okinawa dibawah kekuasaannya. Shin Sho sebagai
penguasa ke-2 dari golongan Sho, menyita dan melarang penggunaan senjata
tajam. Kemudian Keluarga Shimazu dari Pulau Kyushu berhasil menguasai
Kepulauan Okinawa, tetapi larangan terhadap kepemilikan senjata tajam masih
diberlakukan. Akibatnya, rakyat hanya dapat mengandalkan pada kekuatan dan
keterampilan fisik mereka untuk membela diri.
Pada saat yang sama, ilmu beladiri China mulai diperkenalkan di
Kepulauan Okinawa melalui para pengungsi China yang berdatangan. Pengaruh
ilmu beladiri China sangat cepat berkembang di seluruh Kepulauan Okinawa.
Melalui ketekunan dan kekerasan dalam berlatih, rakyat Okinawa berhasil
mengembangkan sejenis gaya dan teknik perkelahian baru, yang akhirnya dapat
melampaui sumber asli dari teknik-teknik setempat atau aliran yang berasal dari
Okinawa itu sendiri, yaitu seni beladiri Okinawa-te (Tode atau Tote). Tode/Tote
atau te yang artinya tangan, merupakan suatu seni beladiri tangan kosong atau
tanpa menggunakan senjata yang telah mengalami perkembangan selama
berabad-abad di Okinawa. Peraturan pelarangan penggunaan senjata tajam
masih tetap diberlakukan oleh Keluarga Satsuma dari Kagoshima setelah
mereka memegang kendali pemerintahan atas Okinawa pada tahun 1609,
bahkan keluarga itu juga melarang keras latihan-latihan Tote, sehingga
menyebabkan latihan-latihan Tote, yang menjadi alat terakhir untuk membela
diri, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia. Orang Okinawa
kemudian mengembangkan seni perkasa ini menjadi beladiri yang betul-betul
mematikan dan dapat digunakan untuk membebaskan mereka dari penindasan
saat itu. Karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia hingga
ada keluarga yang tidak tahu jika di antara anggota keluarganya melakukan
latihan beladiri ini. Keadaan seperti itu berlangsung hingga tahun 1905 ketika
Sekolah biasa di Shuri dan Sekolah Menengah Pertama dari Propinsi,
menetapkan Karate sebagai mata pelajaran resmi untuk Pendidikan Jasmani.
Kekuatan yang membinasakan dari karate mulai dikenal di kalangan tertentu
dengan istilah Reimyo Tote (Karate Ajaib) dan Shimpi Tote (Karate penuh
rahasia). Karena sifatnya yang penuh rahasia sehingga upaya untuk
mempopulerkan pada masyarakat umum mengalami kesusahan.
Tahun 1921, Gichin Funakoshi (1886-1957), orang dari Suri, berhasil
memperkenalkan beladiri Tote di Jepang. Peristiwa itu menandai dimulainya
pengalaman baru beladiri Tote secara benar dan sistematis. Tahun 1929, Gichin
Funakoshi mengambil langkah-langkah revolusioner dalam perjuangannya yang
ulet dan pantang menyerah untuk mengubah Tote menjadi Karate-do, sesuai
karakter dan aksen masyarakat Jepang. Dengan demikian Tote atau Karate
telah mengalami perubahan dari segi penampilan maupun isinya. Teknik asli
Okinawa menjadi suatu seni perkasa Jepang baru. Dari situ kemudian timbul
istilah baru, yaitu “Kime” sebagai pengganti “Ikken Hisatsu” atau Kill with One
Blow (sekali pukul roboh).
Pada era 1920-an dan permulaan tahun 1930-an, seni beladiri ini tambah
disenangi oleh semua lapisan masyarakat di Jepang, antara lain ; pakar hukum,
seniman, pengusaha dan tak terkecuali para pelajar atau mahasiswa. Mereka
sangat tertarik dan bersemangat dalam mempelajari seni perkasa ini.
Populernya karate di kalangan pelajar/mahasiswa sangat menguntungkan bagi
perkembangan karate dan membantu merubah pandangan masyarakat dari
karate ajaib dan penuh rahasia menjadi karate modern. Atas usahanya itu,
Gichin Funakoshi kemudian diberi gelar “Bapak Karate Modern”.
Masatoshi Nakayama, salah seorang murid Gichin Funakoshi, turut
mempopulerkan beladiri ini. Dalam mengajarkan karate, beliau menggunakan
metode yang sistematis sehingga dapat lebih diterima oleh nalar. Karate juga
dapat dipertandingkan seperti olahraga lain dengan tetap tidak mengabaikan
unsur beladirinya, asal dilakukan dengan benar. Dalam bukunya “The Best
Karate”, beliau berpesan : “Bila suatu pertandingan karate diselenggarakan,
hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan semangat yang benar, nafsu
untuk memenangkan pertandingan semata-mata hanya akan menghasilkan
ketidaksungguhan dalam mempelajari karate, sehingga menjadi buas dan lupa
sikap hormat pada lawan”. Padahal sikap hormat itulah yang merupakan hal
terpenting dalam setiap pertandingan karate-do. Menentukan siapa yang
menang/kalah bukan merupakan tujuan akhir karate-do melainkan pembinaan
mental melalui latihan-latihan tertentu sehingga seorang karate-ka mampu
mengatasi segala rintangan hidup.
Secara harfiah Karate-do dapat diartikan sebagai berikut ; Kara = kosong,
cakrawala, Te = tangan atau seluruh bagian tubuh yang mempunyai
kemampuan, Do = jalan. Dengan demikian Karate-do dapat diartikan sebagai
suatu taktik yang memungkinkan seseorang membela diri dengan tangan
kosong tanpa senjata. Setiap anggota badan dilatih secara sistematis sehingga
suatu saat dapat menjadi senjata yang ampuh dan sanggup menaklukan lawan
dengan satu gerakan yang menentukan. Beladiri karate merupakan keturunan
dari ajaran yang bersumber agama Budha yang luhur. Oleh karena itu, orang
yang belajar karate seharusnya rendah hati dan bersikap lembut, punya
keyakinan, kekuatan dan percaya diri. Sekarang ini karate hampir mencapai titik
puncak penyempurnaan dan penyebaran di seluruh belahan dunia. Bahkan di
luar Jepang, di negara Eropa, Amerika dan Asia sudah menyamai Jepang dalam
tingkat kemampuan bertandingnya, tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia, karate masuk bukan dibawa oleh tentara Jepang melainkan
dibawa oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air setelah
menyelesaikan studinya di Jepang. Tahun 1963 beberapa mahasiswa Indonesia
antara lain ; Baud AD Adikusumo, Muchtar dan Karyanto mendirikan Dojo di
Jakarta. Merekalah yang pertama memperkenalkan karate (aliran Shoto-kan) di
Indonesia. Selanjutnya mereka membentuk wadah yang diberi nama PORKI.
Beberapa tahun kemudian berdatangan alumni Mahasiswa Indonesia dari
Jepang seperti : Setyo Haryono (pendiri Gojukai), Anton Lesiangi (salah satu
pendiri Lemkari), Sabeth Muchsin (salah satu pendiri Inkai) dan Choirul Taman
turut mengembangkan karate di tanah air. Di samping alumni Mahasiswa, orang-
orang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka bisnis ikut pula memberi
warna bagi perkembangan karate di Indonesia. Mereka antara lain : Matsusaki
(Kushinryu-1966), Oyama (Kyokushinkai-1967), Ishi (Gojuryu-1969) dan Hayashi
(Shitoryu-1971).
Di Indonesia, karate ternyata memperoleh banyak penggemar. Ini terlihat
dari munculnya berbagai macam organisasi karate dengan berbagai macam
aliran yang dianut oleh pendirinya masing-masing. Banyaknya perguruan karate
dengan berbagai macam aliran menyebabkan terjadi ketidakcocokan di antara
para tokoh tersebut dan menimbulkan perpecahan di tubuh PORKI. Akhirnya
setelah adanya kesepakatan, para tokoh tersebut akhirnya bersatu kembali
dalam upaya mengembangkan karate di tanah air, dan pada tahun 1972
terbentuklah satu wadah organisasi karate baru yang bernama FORKI (Federasi
Olahraga Karate-Do Indonesia). Sampai saat ini FORKI merupakan satu-
satunya wadah olahraga karate yang menjadi anggota KONI. FORKI terhimpun
dari 25 perguruan dengan 8 aliran yang berwenang dan berkewajiban untuk
mengelola serta meningkatkan prestasi karate di Indonesia. Perguruan-
perguruan karate tersebut adalah :
1. AMURA,
2. BKC (Bandung Karate Club),
3. BLACK PANTHER,
4 . FUNAKOSHI,
5. GABDIKA SHITORYU (Gabungan Beladiri Karate-Do Shitoryu),
6. GOJUKAI,
7. GOJURYU ASS,
8. GOKASI (Goju Ryu Karate-Do Shinbukan
Seluruh Indonesia),
9. INKADO (Indonesia Karate-Do),
10. INKAI (Institut
Karate-Do Indonesia),
11. KALA HITAM,
12. KANDAGA PRANA,
13. KEI SHIN
KAN,
14. KKNSI (Kesatuan karate-Do Naga Sakti Indonesia)¸
15. KKI (Kushin
Ryu Karate-Do Indonesia¸
16. KYOKUSHINKAI (Kyokushin Karate-Do
Indonesia),
17. LEMKARI (Lembaga Karate-Do Indonesia),
18. MKC (Medan
Karate Club) sekarang menjadi INKANAS¸
19. PERKAINDO¸
20. PORBIKAWA¸
21. PORDIBYA,
22. SHINDOKA SHI ROI TE,
23. TAKO INDONESIA,
24. WADOKAI (Wadoryu Karate-Do Indonesia)
ETIKA DALAM SENI BELADIRI KARATE
“Jalan Seni Beladiri diawali dan diakhiri dengan kesopanan”
umumnya, yaitu Aliran Utara dan Selatan. Aliran Utara berkembang di wilayah
China Utara bagian hulu Sungai Yang Tse, dengan sifat dan kondisi daerah
pegunungan. Wilayah ini banyak orang yang terlibat perburuan binatang dan
penebangan kayu sebagai sumber nafkah, oleh karena itu aliran ini lebih
menekankan pada gerakan yang lincah dan penggunaan teknik tendangan.
Aliran Selatan berasal dari daerah China Selatan bagian hilir Sungai Yang Tse,
beriklim sedang, banyak aliran sungai, dan masyarakat banyak yang mempunyai
kegiatan perekonomian bercocok tanam, atau sebagai petani. Rakyat setempat
cenderung bertubuh gempal, kuat dan lebih berkembang pada badan bagian
atas karena bekerja di sawah dan mendayung perahu, hal ini dikarenakan
banyaknya aliran sungai sebagai jalur transportasi utama. Aliran ini lebih
menekankan pada gaya melentur dan penggunaan teknik tangan serta kepala.
Selama peralihan dari Dinasti Ming ke Dinasti Ching, sejumlah ahli
beladiri China melarikan diri ke negara lain agar terbebas dari penindasan dan
pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Manchu sebagai
penguasa China saat itu. Akibatnya, ilmu beladiri tersebar ke berbagai negara
lain seperti Jepang, Korea, Asia Tenggara, dan juga Kepulauan Okinawa.
Sampai abad ke-15 Kepulauan Okinawa masih terbagi menjadi 3 kerajaan dan
pada tahun 1470 Youshi Sho dari golongan Sashikianji berhasil mempersatukan
semua pulau di Kepulauan Okinawa dibawah kekuasaannya. Shin Sho sebagai
penguasa ke-2 dari golongan Sho, menyita dan melarang penggunaan senjata
tajam. Kemudian Keluarga Shimazu dari Pulau Kyushu berhasil menguasai
Kepulauan Okinawa, tetapi larangan terhadap kepemilikan senjata tajam masih
diberlakukan. Akibatnya, rakyat hanya dapat mengandalkan pada kekuatan dan
keterampilan fisik mereka untuk membela diri.
Pada saat yang sama, ilmu beladiri China mulai diperkenalkan di
Kepulauan Okinawa melalui para pengungsi China yang berdatangan. Pengaruh
ilmu beladiri China sangat cepat berkembang di seluruh Kepulauan Okinawa.
Melalui ketekunan dan kekerasan dalam berlatih, rakyat Okinawa berhasil
mengembangkan sejenis gaya dan teknik perkelahian baru, yang akhirnya dapat
melampaui sumber asli dari teknik-teknik setempat atau aliran yang berasal dari
Okinawa itu sendiri, yaitu seni beladiri Okinawa-te (Tode atau Tote). Tode/Tote
atau te yang artinya tangan, merupakan suatu seni beladiri tangan kosong atau
tanpa menggunakan senjata yang telah mengalami perkembangan selama
berabad-abad di Okinawa. Peraturan pelarangan penggunaan senjata tajam
masih tetap diberlakukan oleh Keluarga Satsuma dari Kagoshima setelah
mereka memegang kendali pemerintahan atas Okinawa pada tahun 1609,
bahkan keluarga itu juga melarang keras latihan-latihan Tote, sehingga
menyebabkan latihan-latihan Tote, yang menjadi alat terakhir untuk membela
diri, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia. Orang Okinawa
kemudian mengembangkan seni perkasa ini menjadi beladiri yang betul-betul
mematikan dan dapat digunakan untuk membebaskan mereka dari penindasan
saat itu. Karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia hingga
ada keluarga yang tidak tahu jika di antara anggota keluarganya melakukan
latihan beladiri ini. Keadaan seperti itu berlangsung hingga tahun 1905 ketika
Sekolah biasa di Shuri dan Sekolah Menengah Pertama dari Propinsi,
menetapkan Karate sebagai mata pelajaran resmi untuk Pendidikan Jasmani.
Kekuatan yang membinasakan dari karate mulai dikenal di kalangan tertentu
dengan istilah Reimyo Tote (Karate Ajaib) dan Shimpi Tote (Karate penuh
rahasia). Karena sifatnya yang penuh rahasia sehingga upaya untuk
mempopulerkan pada masyarakat umum mengalami kesusahan.
Tahun 1921, Gichin Funakoshi (1886-1957), orang dari Suri, berhasil
memperkenalkan beladiri Tote di Jepang. Peristiwa itu menandai dimulainya
pengalaman baru beladiri Tote secara benar dan sistematis. Tahun 1929, Gichin
Funakoshi mengambil langkah-langkah revolusioner dalam perjuangannya yang
ulet dan pantang menyerah untuk mengubah Tote menjadi Karate-do, sesuai
karakter dan aksen masyarakat Jepang. Dengan demikian Tote atau Karate
telah mengalami perubahan dari segi penampilan maupun isinya. Teknik asli
Okinawa menjadi suatu seni perkasa Jepang baru. Dari situ kemudian timbul
istilah baru, yaitu “Kime” sebagai pengganti “Ikken Hisatsu” atau Kill with One
Blow (sekali pukul roboh).
Pada era 1920-an dan permulaan tahun 1930-an, seni beladiri ini tambah
disenangi oleh semua lapisan masyarakat di Jepang, antara lain ; pakar hukum,
seniman, pengusaha dan tak terkecuali para pelajar atau mahasiswa. Mereka
sangat tertarik dan bersemangat dalam mempelajari seni perkasa ini.
Populernya karate di kalangan pelajar/mahasiswa sangat menguntungkan bagi
perkembangan karate dan membantu merubah pandangan masyarakat dari
karate ajaib dan penuh rahasia menjadi karate modern. Atas usahanya itu,
Gichin Funakoshi kemudian diberi gelar “Bapak Karate Modern”.
Masatoshi Nakayama, salah seorang murid Gichin Funakoshi, turut
mempopulerkan beladiri ini. Dalam mengajarkan karate, beliau menggunakan
metode yang sistematis sehingga dapat lebih diterima oleh nalar. Karate juga
dapat dipertandingkan seperti olahraga lain dengan tetap tidak mengabaikan
unsur beladirinya, asal dilakukan dengan benar. Dalam bukunya “The Best
Karate”, beliau berpesan : “Bila suatu pertandingan karate diselenggarakan,
hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan semangat yang benar, nafsu
untuk memenangkan pertandingan semata-mata hanya akan menghasilkan
ketidaksungguhan dalam mempelajari karate, sehingga menjadi buas dan lupa
sikap hormat pada lawan”. Padahal sikap hormat itulah yang merupakan hal
terpenting dalam setiap pertandingan karate-do. Menentukan siapa yang
menang/kalah bukan merupakan tujuan akhir karate-do melainkan pembinaan
mental melalui latihan-latihan tertentu sehingga seorang karate-ka mampu
mengatasi segala rintangan hidup.
Secara harfiah Karate-do dapat diartikan sebagai berikut ; Kara = kosong,
cakrawala, Te = tangan atau seluruh bagian tubuh yang mempunyai
kemampuan, Do = jalan. Dengan demikian Karate-do dapat diartikan sebagai
suatu taktik yang memungkinkan seseorang membela diri dengan tangan
kosong tanpa senjata. Setiap anggota badan dilatih secara sistematis sehingga
suatu saat dapat menjadi senjata yang ampuh dan sanggup menaklukan lawan
dengan satu gerakan yang menentukan. Beladiri karate merupakan keturunan
dari ajaran yang bersumber agama Budha yang luhur. Oleh karena itu, orang
yang belajar karate seharusnya rendah hati dan bersikap lembut, punya
keyakinan, kekuatan dan percaya diri. Sekarang ini karate hampir mencapai titik
puncak penyempurnaan dan penyebaran di seluruh belahan dunia. Bahkan di
luar Jepang, di negara Eropa, Amerika dan Asia sudah menyamai Jepang dalam
tingkat kemampuan bertandingnya, tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia, karate masuk bukan dibawa oleh tentara Jepang melainkan
dibawa oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air setelah
menyelesaikan studinya di Jepang. Tahun 1963 beberapa mahasiswa Indonesia
antara lain ; Baud AD Adikusumo, Muchtar dan Karyanto mendirikan Dojo di
Jakarta. Merekalah yang pertama memperkenalkan karate (aliran Shoto-kan) di
Indonesia. Selanjutnya mereka membentuk wadah yang diberi nama PORKI.
Beberapa tahun kemudian berdatangan alumni Mahasiswa Indonesia dari
Jepang seperti : Setyo Haryono (pendiri Gojukai), Anton Lesiangi (salah satu
pendiri Lemkari), Sabeth Muchsin (salah satu pendiri Inkai) dan Choirul Taman
turut mengembangkan karate di tanah air. Di samping alumni Mahasiswa, orang-
orang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka bisnis ikut pula memberi
warna bagi perkembangan karate di Indonesia. Mereka antara lain : Matsusaki
(Kushinryu-1966), Oyama (Kyokushinkai-1967), Ishi (Gojuryu-1969) dan Hayashi
(Shitoryu-1971).
Di Indonesia, karate ternyata memperoleh banyak penggemar. Ini terlihat
dari munculnya berbagai macam organisasi karate dengan berbagai macam
aliran yang dianut oleh pendirinya masing-masing. Banyaknya perguruan karate
dengan berbagai macam aliran menyebabkan terjadi ketidakcocokan di antara
para tokoh tersebut dan menimbulkan perpecahan di tubuh PORKI. Akhirnya
setelah adanya kesepakatan, para tokoh tersebut akhirnya bersatu kembali
dalam upaya mengembangkan karate di tanah air, dan pada tahun 1972
terbentuklah satu wadah organisasi karate baru yang bernama FORKI (Federasi
Olahraga Karate-Do Indonesia). Sampai saat ini FORKI merupakan satu-
satunya wadah olahraga karate yang menjadi anggota KONI. FORKI terhimpun
dari 25 perguruan dengan 8 aliran yang berwenang dan berkewajiban untuk
mengelola serta meningkatkan prestasi karate di Indonesia. Perguruan-
perguruan karate tersebut adalah :
1. AMURA,
2. BKC (Bandung Karate Club),
3. BLACK PANTHER,
4 . FUNAKOSHI,
5. GABDIKA SHITORYU (Gabungan Beladiri Karate-Do Shitoryu),
6. GOJUKAI,
7. GOJURYU ASS,
8. GOKASI (Goju Ryu Karate-Do Shinbukan
Seluruh Indonesia),
9. INKADO (Indonesia Karate-Do),
10. INKAI (Institut
Karate-Do Indonesia),
11. KALA HITAM,
12. KANDAGA PRANA,
13. KEI SHIN
KAN,
14. KKNSI (Kesatuan karate-Do Naga Sakti Indonesia)¸
15. KKI (Kushin
Ryu Karate-Do Indonesia¸
16. KYOKUSHINKAI (Kyokushin Karate-Do
Indonesia),
17. LEMKARI (Lembaga Karate-Do Indonesia),
18. MKC (Medan
Karate Club) sekarang menjadi INKANAS¸
19. PERKAINDO¸
20. PORBIKAWA¸
21. PORDIBYA,
22. SHINDOKA SHI ROI TE,
23. TAKO INDONESIA,
24. WADOKAI (Wadoryu Karate-Do Indonesia)
ETIKA DALAM SENI BELADIRI KARATE
“Jalan Seni Beladiri diawali dan diakhiri dengan kesopanan”
( English )
ABSTRACT
Martial arts are known since the existence of human civilization, which at the time
it is used only to defend against animal interference
wild and surrounding nature. Now, in addition to self-defense,
martial arts are used as a tool for maintaining health, looking for achievements and
as a way of life. Karate-do is a mighty, martial art without weapons
which aims to overcome all forms of obstacles, which are achieved with
how to develop personality through certain exercises. From history
the origin of the birth of this martial art can be imagined how hard and through
severe obstacles to be able to reach the level of perfection or
success. As a communication tool and a place to interact with people
another, karate martial arts have ethics and courtesy that must be obeyed
and implemented by all members / people in it. The rules
play, ethics and manners contained in this martial art is made
based on the passion and philosophy inherited by people who are
give birth to it. True karate-ka always tries to be able to understand and
pervading every teaching and then including it in life
everyday as his life's path.
Keywords: History, Ethics, Karate Philosophy
KARATE DEVELOPMENT HISTORY
Martial arts has actually been known since humans exist, it can
seen from ancient relics, including: weapons
from stone, paintings on cave walls depicting battles
or fighting with wild animals using weapons such as spears,
stone axes, and arrows. At that time, martial arts is to maintain
yourself from the disturbance of wild animals or the natural surroundings. After humans
grow, disturbances arise not only from wild animals and nature
around it but also from humans themselves.
After Sidartha Gautama, the founder of Buddha died, his followers
received the mandate to develop Buddhism throughout the world.
Because of the difficulty in the terrain, the priests were equipped with martial arts. Around
5th century, a Buddhist priest from India named Bodhidharma
(Daruma Daishi), wanders to China to spread and correct
Buddhist teachings that were distorted at the time. After there is a difference understanding or
differing views in Buddhist teachings with Emperor Wu, Emperor of the Kingdom
At the time, Daruma Daishi then retreated to Shaolin Monastery
Tsu, in the Sung Mountains, south of Loyang, the capital of the Wei Kingdom.
Daruma Daishi continued his teaching of Buddhism at the monastery, which
then the forerunner to Zen teachings. Besides teaching religion,
he also gave a Manual on Physical Exercise to students
his student. The manual also teaches punch techniques, which are
named 18 Arhat. Starting from there the monastery is known as Shaolin
Chuan, a martial arts center in mainland China until now.
During the Sung Dynasty (920-1279 AD) a martial arts expert appeared
very famous, namely Chang Sang Feng (Thio Sam Hong), who was at first
studying martial arts at Shaolin Tsu, then seclusion on Mount Wutang
(Butong) and creates a typical fighting style with his person, who
named Debt Flow. The difference is that Shaolin Chuan is only practiced
in the Shaolin monastery by its priests, while the Wutang Flow
intended for lay people who have no ties to any temple.
Wutang flow teaches techniques to take punches with a weak force
graceful, there is a circular motion that is flexible like water flowing and attacking
with sharp edge movements, with one certainty or one hit
to end the resistance. This flow has a broad impact in
the development of martial arts in China, spread evenly throughout northern China,
later developed into Taichi-Chuan, Hsingi-Chuan, and Pakua-Chuan.
Many martial arts figures appeared in all regions of China and
creating their own style and flow, the style and flow
developed according to the nature and conditions of each environment. Various
existing styles and flows can generally be divided into two streams on
generally, namely the North and South Streams. The Northern Stream developed in the region
North China upstream of the Yang Tse River, with the nature and condition of the region
the mountains. This area has many people involved in animal hunting and
logging as a source of livelihood, therefore this flow is more
emphasizing agile movements and using kick techniques.
Southern Stream originates from the southern China region downstream of the Yang Tse River,
temperate climate, many streams, and many people who have
economic activities in farming, or as farmers. Local people
tend to be stocky, stronger and more developed in the body part
for working in the fields and rowing the boat, this is because
many rivers flow as the main transportation route. This flow is more
emphasizing the flexural style and use of hand and head techniques.
During the transition from the Ming Dynasty to the Ching Dynasty, a number of experts
Chinese martial arts fled to other countries to be free from oppression and
massacre committed by the Manchu people as
the rulers of China at that time. As a result, martial arts are spread to various countries
others such as Japan, Korea, Southeast Asia, and also the Okinawa Islands.
Until the 15th century the Okinawa Islands were still divided into 3 kingdoms and
in 1470 Youshi Sho of the Sashikianji group succeeded in uniting
all the islands of the Okinawa Islands are under his control. Shin Sho as
the 2nd ruler of the Sho group, confiscated and prohibited the use of weapons
sharp. Then the Shimazu Family from Kyushu Island successfully mastered
Okinawa Islands, but a ban on possession of sharp weapons is still
enforced. As a result, people can only rely on strength and
their physical skills to defend themselves.
At the same time, Chinese martial arts were introduced
Okinawa Islands through the Chinese refugees who arrived. Influence
Chinese martial arts are very fast developing throughout the Okinawa Islands.
Through perseverance and violence in training, the people of Okinawa succeed
develop a new kind of fighting style and technique, which finally got it
beyond the original sources of local techniques or streams originating from
Okinawa itself, which is Okinawa-te (Tode or Tote) martial arts. Tode / Tote
or te which means hand, is an empty-handed or martial arts
without using weapons that have undergone development during
centuries in Okinawa. Rules prohibiting the use of sharp weapons
is still enforced by the Satsuma Family from Kagoshima after
they assumed government control of Okinawa in 1609,
even the family also strictly forbids the Tote exercises, so
leads to Tote exercises, which are the last tool to defend
self, carried out clandestinely and secretly. Okinawan people
then developed this mighty art into a true martial arts
deadly and can be used to free them from oppression
at that time. Because it was done in secret and full of secrets
there are families who do not know if among their family members do
this martial arts practice. Such a situation lasted until 1905 when
Regular schools in Shuri and Junior High Schools from the Province,
establishing Karate as an official subject for Physical Education.
The destructive power of karate began to be known in certain circles
with the terms Reimyo Tote (Magic Karate) and Shimpi Tote (full Karate
secret). Because of its full confidential nature so the effort to
popularizing the general public in distress.
In 1921, Gichin Funakoshi (1886-1957), a person from Suri, succeeded
introducing Martial Tote in Japan. The event marked the start
Tote's new experience in a true and systematic manner. 1929, Gichin
Funakoshi took revolutionary steps in his struggle
tenacious and never give up to change the Tote into Karate-do, accordingly
the character and accent of Japanese society. Thus Tote or Karate
has changed in terms of appearance and contents. Original technique
Okinawa becomes a new Japanese mighty art. From there then arises
a new term, "Kime" instead of "Ikken Hisatsu" or Kill with One
Blow (one o'clock collapses).
In the 1920s and beginning of the 1930s, this martial art was added
loved by all levels of society in Japan, among others; legal expert,
artists, entrepreneurs and students are no exception. They
very interested and excited in learning this mighty art.
The popularity of karate among students is very beneficial
the development of karate and help change people's views from
Karate is magical and full of secrets to become modern karate. For his efforts,
Gichin Funakoshi was later given the title "Father of Modern Karate".
Masatoshi Nakayama, a student of Gichin Funakoshi, joined in
popularize this martial arts. In teaching karate, he uses
systematic method so that it can be more accepted by reason. Karate too
can be contested like other sports while not ignoring
element of self-defense, as long as it's done correctly. In his book "The Best
Karate ", he advised:" If a karate competition is held,
should be carried out in accordance with the true purpose and passion, lust
to win the game will only result
seriousness in learning karate, so it becomes wild and forgetful
respect for opponents ". Even though that attitude of respect is the thing
most important in every karate-do match. Determine who is
Win / lose is not the end goal of karate-do but rather coaching
mentally through certain exercises so that a karate-ka is able
overcome all obstacles of life.
Literally Karate-do can be interpreted as follows; Kara = empty,
horizon, Te = hand or all parts of the body that have
ability, Do = road. Thus Karate-do can be interpreted as
a tactic that allows one to defend oneself with a hand
empty without weapons. Each member of the body is systematically trained so that
one day can be a powerful weapon and able to conquer the opponent
with one decisive move. Karate martial is a descendant
from teachings that originate from noble Buddhism. Therefore, people
who learn karate should be humble and gentle, have
confidence, strength and confidence. Now karate is almost reaching the point
the pinnacle of improvement and distribution in all parts of the world. Even in
outside of Japan, in European countries, America and Asia have matched Japan within
level of competitiveness, Indonesia is no exception.
In Indonesia, karate entry is not carried by the Japanese army but rather
brought by Indonesian students who returned to their homeland after
completing her studies in Japan. In 1963 several Indonesian students
among others ; Baud AD Adikusumo, Muchtar and Karyanto established a Dojo in
Jakarta. It was they who first introduced karate (Shoto-kan flow) in
Indonesia. Then they formed a container called PORKI.
A few years later came Indonesian Students alumni from
Japan like: Setyo Haryono (founder of Gojukai), Anton Lesiangi (one of them
founder of Lemkari), Sabeth Muchsin (co-founder of Inkai) and Choirul Taman
participate in developing karate in the country. In addition to the Student alumni, people
Japanese people who come to Indonesia in the context of business also give
the color for the development of karate in Indonesia. They include: Matsusaki
(Kushinryu-1966), Oyama (Kyokushinkai-1967), Ishi (Gojuryu-1969) and Hayashi
(Shitoryu-1971).
In Indonesia, karate apparently gets a lot of fans. This looks
from the emergence of various karate organizations with various kinds
the flow adopted by their respective founders. The number of karate colleges
with various kinds of flow causing mismatch between
these figures and caused divisions within PORKI. Finally
after an agreement, the leaders finally reunited
in an effort to develop karate in the homeland, and in 1972
a new karate organization called FORKI (Federation) was formed
Karate-Do Sports Indonesia). Until now FORKI is one-
the only karate sports organization that is a member of KONI. FORKI gathered
from 25 colleges with 8 schools that are authorized and obliged to
manage and improve karate achievements in Indonesia. College-
Karate colleges are:
AMURA,
2. BKC (Bandung Karate Club),
3. BLACK PANTHER,
4 FUNAKOSHI,
5. GABDIKA SHITORYU (Combined Karate-Do Shitoryu),
6. GOJUKAI,
7. GOJURYU ASS,
8. GOKASI (Goju Ryu Karate-Do Shinbukan)
Throughout Indonesia),
9. INKADO (Indonesia Karate-Do),
10. INKAI (Institute
Karate-Do Indonesia),
11. WHEN BLACK,
12. KANDAGA PRANA,
13. KEI SHIN
KAN
14. KKNSI (Karate-Do Unity Naga Sakti Indonesia) ¸
15. KKI (Kushin
Ryu Karate-Do Indonesia¸
16. KYOKUSHINKAI (Kyokushin Karate-Do
Indonesia),
17. LEMKARI (Indonesian Karate-Do Institute),
18. MKC (Medan
Karate Club) is now INKANAS¸
19. PERKAINDO¸
20. PORBIKAWA¸
21. THEIR GUIDE,
22. SHINDOKA SHI ROI TE,
23. TAKO INDONESIA,
24. WADOKAI (Wadoryu Karate-Do Indonesia)
ETHICS IN KARATE ARMY
"The Way of the Martial Arts begins and ends with politeness"
Martial arts are known since the existence of human civilization, which at the time
it is used only to defend against animal interference
wild and surrounding nature. Now, in addition to self-defense,
martial arts are used as a tool for maintaining health, looking for achievements and
as a way of life. Karate-do is a mighty, martial art without weapons
which aims to overcome all forms of obstacles, which are achieved with
how to develop personality through certain exercises. From history
the origin of the birth of this martial art can be imagined how hard and through
severe obstacles to be able to reach the level of perfection or
success. As a communication tool and a place to interact with people
another, karate martial arts have ethics and courtesy that must be obeyed
and implemented by all members / people in it. The rules
play, ethics and manners contained in this martial art is made
based on the passion and philosophy inherited by people who are
give birth to it. True karate-ka always tries to be able to understand and
pervading every teaching and then including it in life
everyday as his life's path.
Keywords: History, Ethics, Karate Philosophy
KARATE DEVELOPMENT HISTORY
Martial arts has actually been known since humans exist, it can
seen from ancient relics, including: weapons
from stone, paintings on cave walls depicting battles
or fighting with wild animals using weapons such as spears,
stone axes, and arrows. At that time, martial arts is to maintain
yourself from the disturbance of wild animals or the natural surroundings. After humans
grow, disturbances arise not only from wild animals and nature
around it but also from humans themselves.
After Sidartha Gautama, the founder of Buddha died, his followers
received the mandate to develop Buddhism throughout the world.
Because of the difficulty in the terrain, the priests were equipped with martial arts. Around
5th century, a Buddhist priest from India named Bodhidharma
(Daruma Daishi), wanders to China to spread and correct
Buddhist teachings that were distorted at the time. After there is a difference understanding or
differing views in Buddhist teachings with Emperor Wu, Emperor of the Kingdom
At the time, Daruma Daishi then retreated to Shaolin Monastery
Tsu, in the Sung Mountains, south of Loyang, the capital of the Wei Kingdom.
Daruma Daishi continued his teaching of Buddhism at the monastery, which
then the forerunner to Zen teachings. Besides teaching religion,
he also gave a Manual on Physical Exercise to students
his student. The manual also teaches punch techniques, which are
named 18 Arhat. Starting from there the monastery is known as Shaolin
Chuan, a martial arts center in mainland China until now.
During the Sung Dynasty (920-1279 AD) a martial arts expert appeared
very famous, namely Chang Sang Feng (Thio Sam Hong), who was at first
studying martial arts at Shaolin Tsu, then seclusion on Mount Wutang
(Butong) and creates a typical fighting style with his person, who
named Debt Flow. The difference is that Shaolin Chuan is only practiced
in the Shaolin monastery by its priests, while the Wutang Flow
intended for lay people who have no ties to any temple.
Wutang flow teaches techniques to take punches with a weak force
graceful, there is a circular motion that is flexible like water flowing and attacking
with sharp edge movements, with one certainty or one hit
to end the resistance. This flow has a broad impact in
the development of martial arts in China, spread evenly throughout northern China,
later developed into Taichi-Chuan, Hsingi-Chuan, and Pakua-Chuan.
Many martial arts figures appeared in all regions of China and
creating their own style and flow, the style and flow
developed according to the nature and conditions of each environment. Various
existing styles and flows can generally be divided into two streams on
generally, namely the North and South Streams. The Northern Stream developed in the region
North China upstream of the Yang Tse River, with the nature and condition of the region
the mountains. This area has many people involved in animal hunting and
logging as a source of livelihood, therefore this flow is more
emphasizing agile movements and using kick techniques.
Southern Stream originates from the southern China region downstream of the Yang Tse River,
temperate climate, many streams, and many people who have
economic activities in farming, or as farmers. Local people
tend to be stocky, stronger and more developed in the body part
for working in the fields and rowing the boat, this is because
many rivers flow as the main transportation route. This flow is more
emphasizing the flexural style and use of hand and head techniques.
During the transition from the Ming Dynasty to the Ching Dynasty, a number of experts
Chinese martial arts fled to other countries to be free from oppression and
massacre committed by the Manchu people as
the rulers of China at that time. As a result, martial arts are spread to various countries
others such as Japan, Korea, Southeast Asia, and also the Okinawa Islands.
Until the 15th century the Okinawa Islands were still divided into 3 kingdoms and
in 1470 Youshi Sho of the Sashikianji group succeeded in uniting
all the islands of the Okinawa Islands are under his control. Shin Sho as
the 2nd ruler of the Sho group, confiscated and prohibited the use of weapons
sharp. Then the Shimazu Family from Kyushu Island successfully mastered
Okinawa Islands, but a ban on possession of sharp weapons is still
enforced. As a result, people can only rely on strength and
their physical skills to defend themselves.
At the same time, Chinese martial arts were introduced
Okinawa Islands through the Chinese refugees who arrived. Influence
Chinese martial arts are very fast developing throughout the Okinawa Islands.
Through perseverance and violence in training, the people of Okinawa succeed
develop a new kind of fighting style and technique, which finally got it
beyond the original sources of local techniques or streams originating from
Okinawa itself, which is Okinawa-te (Tode or Tote) martial arts. Tode / Tote
or te which means hand, is an empty-handed or martial arts
without using weapons that have undergone development during
centuries in Okinawa. Rules prohibiting the use of sharp weapons
is still enforced by the Satsuma Family from Kagoshima after
they assumed government control of Okinawa in 1609,
even the family also strictly forbids the Tote exercises, so
leads to Tote exercises, which are the last tool to defend
self, carried out clandestinely and secretly. Okinawan people
then developed this mighty art into a true martial arts
deadly and can be used to free them from oppression
at that time. Because it was done in secret and full of secrets
there are families who do not know if among their family members do
this martial arts practice. Such a situation lasted until 1905 when
Regular schools in Shuri and Junior High Schools from the Province,
establishing Karate as an official subject for Physical Education.
The destructive power of karate began to be known in certain circles
with the terms Reimyo Tote (Magic Karate) and Shimpi Tote (full Karate
secret). Because of its full confidential nature so the effort to
popularizing the general public in distress.
In 1921, Gichin Funakoshi (1886-1957), a person from Suri, succeeded
introducing Martial Tote in Japan. The event marked the start
Tote's new experience in a true and systematic manner. 1929, Gichin
Funakoshi took revolutionary steps in his struggle
tenacious and never give up to change the Tote into Karate-do, accordingly
the character and accent of Japanese society. Thus Tote or Karate
has changed in terms of appearance and contents. Original technique
Okinawa becomes a new Japanese mighty art. From there then arises
a new term, "Kime" instead of "Ikken Hisatsu" or Kill with One
Blow (one o'clock collapses).
In the 1920s and beginning of the 1930s, this martial art was added
loved by all levels of society in Japan, among others; legal expert,
artists, entrepreneurs and students are no exception. They
very interested and excited in learning this mighty art.
The popularity of karate among students is very beneficial
the development of karate and help change people's views from
Karate is magical and full of secrets to become modern karate. For his efforts,
Gichin Funakoshi was later given the title "Father of Modern Karate".
Masatoshi Nakayama, a student of Gichin Funakoshi, joined in
popularize this martial arts. In teaching karate, he uses
systematic method so that it can be more accepted by reason. Karate too
can be contested like other sports while not ignoring
element of self-defense, as long as it's done correctly. In his book "The Best
Karate ", he advised:" If a karate competition is held,
should be carried out in accordance with the true purpose and passion, lust
to win the game will only result
seriousness in learning karate, so it becomes wild and forgetful
respect for opponents ". Even though that attitude of respect is the thing
most important in every karate-do match. Determine who is
Win / lose is not the end goal of karate-do but rather coaching
mentally through certain exercises so that a karate-ka is able
overcome all obstacles of life.
Literally Karate-do can be interpreted as follows; Kara = empty,
horizon, Te = hand or all parts of the body that have
ability, Do = road. Thus Karate-do can be interpreted as
a tactic that allows one to defend oneself with a hand
empty without weapons. Each member of the body is systematically trained so that
one day can be a powerful weapon and able to conquer the opponent
with one decisive move. Karate martial is a descendant
from teachings that originate from noble Buddhism. Therefore, people
who learn karate should be humble and gentle, have
confidence, strength and confidence. Now karate is almost reaching the point
the pinnacle of improvement and distribution in all parts of the world. Even in
outside of Japan, in European countries, America and Asia have matched Japan within
level of competitiveness, Indonesia is no exception.
In Indonesia, karate entry is not carried by the Japanese army but rather
brought by Indonesian students who returned to their homeland after
completing her studies in Japan. In 1963 several Indonesian students
among others ; Baud AD Adikusumo, Muchtar and Karyanto established a Dojo in
Jakarta. It was they who first introduced karate (Shoto-kan flow) in
Indonesia. Then they formed a container called PORKI.
A few years later came Indonesian Students alumni from
Japan like: Setyo Haryono (founder of Gojukai), Anton Lesiangi (one of them
founder of Lemkari), Sabeth Muchsin (co-founder of Inkai) and Choirul Taman
participate in developing karate in the country. In addition to the Student alumni, people
Japanese people who come to Indonesia in the context of business also give
the color for the development of karate in Indonesia. They include: Matsusaki
(Kushinryu-1966), Oyama (Kyokushinkai-1967), Ishi (Gojuryu-1969) and Hayashi
(Shitoryu-1971).
In Indonesia, karate apparently gets a lot of fans. This looks
from the emergence of various karate organizations with various kinds
the flow adopted by their respective founders. The number of karate colleges
with various kinds of flow causing mismatch between
these figures and caused divisions within PORKI. Finally
after an agreement, the leaders finally reunited
in an effort to develop karate in the homeland, and in 1972
a new karate organization called FORKI (Federation) was formed
Karate-Do Sports Indonesia). Until now FORKI is one-
the only karate sports organization that is a member of KONI. FORKI gathered
from 25 colleges with 8 schools that are authorized and obliged to
manage and improve karate achievements in Indonesia. College-
Karate colleges are:
AMURA,
2. BKC (Bandung Karate Club),
3. BLACK PANTHER,
4 FUNAKOSHI,
5. GABDIKA SHITORYU (Combined Karate-Do Shitoryu),
6. GOJUKAI,
7. GOJURYU ASS,
8. GOKASI (Goju Ryu Karate-Do Shinbukan)
Throughout Indonesia),
9. INKADO (Indonesia Karate-Do),
10. INKAI (Institute
Karate-Do Indonesia),
11. WHEN BLACK,
12. KANDAGA PRANA,
13. KEI SHIN
KAN
14. KKNSI (Karate-Do Unity Naga Sakti Indonesia) ¸
15. KKI (Kushin
Ryu Karate-Do Indonesia¸
16. KYOKUSHINKAI (Kyokushin Karate-Do
Indonesia),
17. LEMKARI (Indonesian Karate-Do Institute),
18. MKC (Medan
Karate Club) is now INKANAS¸
19. PERKAINDO¸
20. PORBIKAWA¸
21. THEIR GUIDE,
22. SHINDOKA SHI ROI TE,
23. TAKO INDONESIA,
24. WADOKAI (Wadoryu Karate-Do Indonesia)
ETHICS IN KARATE ARMY
"The Way of the Martial Arts begins and ends with politeness"